Pesona Kartini

Cerpen: Novela Nian - Lamongan

Kini Ratih sendiri. Kehidupannya telah tertelan sepi. Sepi yang keji, yang membawanya pergi dari mimpi-mimpi. Ratih hanya bisa mencecap kenangan dulu sebelum ombak Tambak Lorok menggulung segala yang ia cinta.

Tak ada harapan di matanya yang sayu. Ia hanya menghabiskan waktu sepinya di pesisir Tambak Lorok. Pandangannya nanar menatap buih-buih lautan. Lalu, pipinya yang masih merona telah dipenuhi manik-manik air mata. Hatinya luruh semacam gemuruh langit. Ratih kemudian terpengkur. Tubuhnya meringkuk kedinginan.

“Ani...” Hanya nama itu yang hidup dalam pikiran Ratih. Sesekali ia mendengung sambil menatap hamparan lautan lepas. Tak ada pandangan apapun yang tertangkap di retina matanya. Yang ada hanya kepiluan dan ratap bimbang. Jauh di dalam padangannya, bayangan bocah berkepang dua berlarian sedang menerbangkan pesawat kemainannya dari kertas.
Gambar "Pesona Karti/Novela Nian/Pilihan Rakyat"

Ratih memejamkan mata. Ia berusaha menepis ingatannya tentang bocah itu, tentang impian besar putri semata wayangnya yang bernama Ani. Namun, ia tak bisa. Ia semakin terluka bila terdengar suara cambukan di telinganya yang maha dahsyat. Getir-getir ia menggigit kedua bibirnya. Ia merasakan perih itu kembali.

Ratih menelan ludahnya sendiri. Meneguk segala kepiluan hidupnya. Sudah beberapa kali ia menyeka manik-manik air mata di pipinya. Matanya sembab dan lelah, begitu juga hatinya. Sampai-sampai ia berharap ombak akan meneggelamkannya hingga esok hari ia tak lagi pijaki bumi.

***

“Bagaimana belajarnya di sekolah tadi, Sayang?” Ratih menatap penuh iba kepada Ani. Tiap kali ia melihat semangat besar Ani, hati Ratih nelangsa.

Di remang malam seperti ini, tak ada hiburan apapun di rumah Ratih. Ratih mengisi waktunya dengan menemani Ani belajar. Ani begitu tekun belajar meski di luar rumahnya sangat berisik dengan suara gemuruh ombak menggulung lautan.

Saat itu Ratih tak konsentrasi mengajari Ani. Dilihatnya beberapa kali pintu rumah yang sengaja sedikit ia buka. Kemudian Ratih melirik jam dinding yang sudah menunjukkan waktu hampir isya. Sudah seminggu Gamto-suaminya belum pulang dari melaut. Tapi, Ratih tak menghkawatirkan itu. Ratih sengaja membiarkan pintu rumahnya sedikit terbuka agar ia bisa cepat-cepat bertindak sebelum suaminya tiba dan cambuk akan mendarat di punggungnya.

Baginya, Gamto adalah cambuk kehidupannya. Namun, Ratih akan janji pada dirinya sendiri bahwa ia akan berjuang sampai titik peluh terakhir menetes dari keningnya. Ratih akan tetap menentang keras pikiran bodoh suaminya. Bahwa, seorang perempuan pun tak salah bila mengenyam pendidikan. Tak semua perempuan yang akhirnya akan menjadi ibu rumah tangga saja seperti dirinya.

“Tadi Ani diajari tentang cita-cita sama Bu Neli, Bu,” dengan wajah riang, Ani mulai bercerita kepada Ratih. Ratih tergeragap dari lamunan panjangnya. “Cita-citaku ingin jadi pramugari, Bu. Aku ingin seperti Ibu Kartini yang mempunyai cita-cita besar,” lanjutnya sambil menunjuk gambar yang ada di buku Bahasa Indonesianya.

Ratih bergantian menatap wajah putrinya dan gambar pesawat yang ditunjuk putrinya. Ada sesuatu yang berdesak-desakkan di sudut mata Ratih. Ia terharu dengan bocah yang baru dua tahun belajar menulis dan membaca di SD itu sudah mempunyai impian yang tinggi di masa depan. Ratih juga tak menyangka anaknya begitu mengenal sosok ibu pertiwi.

Sebentar-sebentar, wajah Ratih menengadah ke langit yang mulai kelam. Tatapannya tajam menuju satu bintang terkecil yang hampir redup. Ratih memainkan kedipan matanya pelan.

“Bu, aku pasti bisa, kan?” Ani menyentuh lembut dagu ibunya. Buru-buru Ratih kembali tertunduk menatap Ani yang ada di depannya.

“Itu pasti, Sayang jika kamu mau berusaha dan berdoa.”

Kemudian dengan cepat Ani berdiri lalu menepuk-nepuk kedua telapak tangannya. Ratih tersenyum melihat putrinya menyanyi.

......
Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia
......

Ani kemudian menghela nafas panjang. Ia lega. “Ya Allah, kabulkan cita-citaku. Aku ingin setelah besar nanti menjadi pramugari, ya Allah,” Ani menengadahkan kedua tangannya. Ya, ia berdoa.

“Amin,” Ratih lalu menempelkan kedua telapak tangan putrinya ke wajah putrinya. “Mari bobok, Sayang. Hari sudah mulai malam,” Ratih membereskan semua buku-buku Ani ke dalam tas. Sedang Ani masih sibuk. Jemari-jemari kecilnya bergulat dengan selembar kertas. Entah apa yang akan ia buat.

“Sebentar Bu, Ani mau menerbangkan pesawat buatan Ani dulu.” Bimsalabim, sekejap selembar kertas itu berubah menjadi pesawat. Lalu kaki-kaki kecil Ani berhambur keluar rumah. Dengan bebasnya ia menerbangkan pesawatnya. Ani terlonjak kegirangan melihat pesawatnya terbang bebas meliuk-liuk di udara.

“Tidak bosan tiap hari main beginian, hah?”

Tidak! Pesawat buatan Ani tak sengaja mengenai dada bapaknya yang baru saja pulang melaut. Padahal Ratih sudah mengemas semua buku pelajaran Ani dan siap untuk melarung mimpi. Namun, Ani malah keluar menjejaki pasir pantai. Dugaan Ratih benar, bahwa malam itu suaminya akan pulang.

Kini, pesawat buatan Ani berada di tangan bapaknya. Hati Ani tersayat melihat pesawatnya rusak diremas-remas bapaknya. Dan untuk kemudian, pasti Ani akan meringkuk ketakutan dan tubuhnya gemetar melihat ibunya dihajar habis-habisan oleh bapaknya.

“Kenapa Bapak tak pulang saja dari melautnya? Aku benci Bapak!” Dalih Ani dalam hati sambil mengepal kuat-kuat tangannya. Ani geram melihat bapaknya yang rajin memukuli ibunya. Namun, apa daya. Bocah ingusan itu tak punya nyali sedikitpun untuk melawan bapaknya. Pipinya basah melihat tubuh ibunya yang dilempar sana-sini oleh bapaknya.

“Mulai besok, tak usah kau antar Ani ke sekolah.”

“Tapi Ani harus sekolah, Bang.” Ratih tetap memperjuangkan impian putrinya meski tubuhnya memar di mana-mana.

“Buat apa sekolah? Buang-buang uang saja. Toh nantinya dia akan sibuk di dapur seperti kamu.”

“Jangan samakan Ani denganku, Bang! Ani punya cita-cita yang tinggi.”

“Hah, omong kosong kau!” Gamto dengan sigap mengangkat cambuknya.

“Jangan, Pak! Jangan cambuk Ibu!”

Entah apa yang mendorong hati Ani sehingga ia berani melawan bapaknya, lalu dengan cepat ia menghalangi cambuk mendarat di punggung ibunya. Namun, cambuk di tangan Gamto sudah terlanjur dihempaskan. Slet.... Ya, cambuk Gamto dengan keras melesat ke punggung Ani. Sedetik kemudian bocah itu limbung. Punggungnya bersimbah darah.

“Ani!” Ratih menjerit histeris melihat tubuh putrinya tergeletak di sampingnya. Deru nafasnya menggebu. Sekujur tubuhnya gemetar. Pelan, Ratih mengangkat tubuh Ani yang tertelungkup. Dengan desakan air mata di matanya, Ratih berharap masih bisa merasakan detak jantung putrinya.

Tidak. Mata Ani sudah terpejam rapat-rapat. Tubuh kecilnya membiru. Sedang darah di punggungnya terus merembes. Sabetan cambuk itu terlalu dalam melukai kulit tipis Ani.

Ratih menangis tersedu. Beberapa kali tubuh Ani terhempas buih. Lautan asin pun berubah anyir. Sedang Gamto membisu. Menekuk kedua lututnya. Tertunduk. Menyesal bahwa ia pasti akan menjadi tertuduh sebagai pembunuh. Pembunuh darah dagingnya sendiri. Pembunuh kartini kecil generasi Indonesia.

“Ani, maafkan Ibu. Ibu hanya mampu membantu memperjuangkan cita-citamu sampai di sini.”

Sesekali bibir Ratih menggumam. Tatapannya tetap tegap ke arah lautan. Ratih hanya bisa menangkap bayang-bayang Ani yang sedang asik menerbangkan pesawat. Baginya, Ani adalah bias wajah Kartini. Pesona Kartini yang tak akan pernah lenyap dari pikirannya.

Lamongan, 2012-2015

Gambar diambil dari Cover buku "Moment to Feel"/ Koleksi Novela Nian
Novela Nian adalah nama pena Novem Berti Nian Sari. Lahir di Lamongan, 15 November 1991. Perempuan penyuka warna biru ini suka menulis sejak Madrasah Tsanawiyah. Meskipun sedikit pengalaman tentang dunia luar, dengan menulis dia dapat meliarkan pikirannya. Pendidikan terakhirnya yang hanya sampai tingkat MA saja tak menyurutkan impiannya untuk menjadi penulis. Prestasi menulisnya baru di beberapa antologi saja. Penulis dapat dihubungi di facebook Novela Nian, email nian_novela@yahoo.com, atau handphone 085645459192.

Labels: