Cerita Pendek Menjelang Pertemuan Panjang

Oleh: Baron Van Warno


Dedak Kopi di atas Kertas by : Sel-18
Malam mulai rapuh bergelayut di helai-helai rambutku, lembab oleh embun. Ada yang hadir, remang warnya, bisiknya tak terang sebagaik kata-kata terangkai. Aku lupa belum melakukan apapun seharian tadi dan malam ini diri masih bermalas-malas ria. Lalu yang asing menjelma cahaya yang mengantar seribu kunang-kunang dalam bola mataku. Aku merasadekat dengan sepercik sinar kunang yang warnya merah itu. Sayang, dia tak mau kudekati. Dia terbang jika jemariku sudah melambai hendak menyentuhnya.

Tiba-tiba aku ingin menulis sesuati bersama malam, demi senyuman yang akan menyungging bulang ke sembilan tahun ini. Ya, senyuman itu akan berwangi mawar dengan cerita pendek ini di hari Ulang tahun yang aku kenal dekat di dunia maya. Riskaninda Maharani namanya, perempuan yang yang aku akrabi dengan puisi-puisi. Ihwal pertemuan itu bermula sejak puisiku terbaca olehnya.
“Membaca puisi Selendang Sulaiman membuat aku merem-melek serasa dapat puisi dari sang pacar dan penggemar. Darahku mendesir terus tak kunjung berhenti.” Kau menulis catatan kecil di beranda mayamu dan kau kabari aku, nIn. Bahkan aku tak mampu menjangkau inginmu, saat kutahu kau juga kabarkan catatan kecilmu itu pada orang-orang yang tak aku kenal dan mereka pun tak mengetahuiku. Aku masih menyimpan kabar itu, “Sepertinya kalian semua berhak tahu sedikit tentang puisi yang ku suka. Aku beri contoh dari kutipan naskah terbaik yang masuk ke emailku; Tak perlu kau bertanya, nIn _Bila kau melihat bayangan bunting _Itulah bulan rindu dalam puisi : rindu kamu _Mengapa harus rindu, nIn Bila terkenang namamu. (Ciuman 23 September) Selendang Hitam Berdarah.” Sungguh aku tersenyum senyum sendiri manahan rasa yang entah apa itu namanya. Terasa lain dari biasanya. Sebab kalimatmu memang tidak biasa aku temui selama hidup ini.
Dan aku hanya bisa berucap, “nIn, aku kesemsem oleh sanjunganmu, pun aku merasa sesuatu yang rahasia itu hadir padaku, dan entah aku tak bisa memberinya tanda dengan kata dan ucapan.” Begitulah aku kini setelah pertemuan maya terjadi antara di Kota Gudeg Djogja dengan engkau nIn di Pulau nun jauh di Timor Leste.
Kau benar-benar membaca pesanku rupanya dan aku terheran-heran dengan kenyataan yang begini. Kau benar-benar menyentakku dengan bahasamu ini, “Haduh, kalau kata-katanya maut seperti ini, aku yang makin terkapar dan tergelepar, Selendang Hitam Berdarah. Senangnya orang yang bisa jadi kekasihmu. Pasti tiap hari akan dibanjiri oleh jutaan butiran mutiara yang bernilai dari hati dan sekat-sekat rongga dada.”
“Baiklah nIn, betapa tiada malam-malam yang akan aku ingat selain ini malam yang menarik seluruh isi hati dan rongga dada untuk sampai padamu. Angin dingin menjadi enggan memelukku beku, lantaran api rasa telah menyala membakar segala, jika disini ada hutan, maka binatang binatang buas akan lari dan akan berkabar dengan segalanya bunyinya tentang rasaku padamu, nIn ( Riskaninda Maharani ).” Senantiasa aku melayani percakapan resah kita itu di dunia maya, di dunia fiksi. Tetapi aku merasa, jika kita sedang berbicara di tengah pasar sambil belanja untuk sarapan kita berdua di beranda.
Tetapi, aku tahu ini hanya kegilaan yang aneh dan terlampau sukar untuk aku hindari. Akupun merasa nikmat dengan kenyataan yang tak nyata ini. Sungguh, tapi entahlah. Aku hanya bisa meyakini bahwa yang terjadi ini bukanlah suatu kebetulan, aku merasa ada istarat dan tanda yang hadir masuk dalam dada. Mungkin itu suaramu, nIn. Apa benar, yang terjadi antara aku dan dirimu sudah dituliskan di masa lalu?.
***

Di hari yang lain, beberapa hari kemudian. Lagi-lagi aku mesti mengernyitkan kening dan bermenung ria di hadapan layar monitor sambil membaca pesanmu berulang-ulang. Ya, aku masih menyimpan pula pesanmu itu nIn. “Hmmm... sepertinya status-status Selendang Hitam Berdarah di wallku, lebih baik aku copas ke bukuku saja deh! Biar bisa aku abadikan. Sayang, kalau nggak diabadikan.”
“nIn, jika jemari sudah menjalma jarum, dingin dan malam akan dipilin menjadi piyama untuk kau pakai setiap tidurmu, pun embun memaniknya, laiknya kunang-kunang di gelap semak inai-inai, biar tidurmu indah dengan mawar-mawar mimpi yang ranum dan harum. dan jika kau lihat bayangan samar di ujung pandangmu, nIn_ itulah hadirku yang diamdiam dan rahasia. istirahlah setenang darah mengaliri sel sel kecil di sekejur tubuhmu, nIn.” Jawabku dengan perasaan yang entah. Perasaan yang aku yakini kebenarannya. Lalu kata-kata itulah menjadikan bisikan rasa itu ada untukmu.
Dan beberapa menit kemudian aku menulis lagi, sepenggal kesan yang mungkin tak berarti buatmu, “saya suka dengan rencana Riskaninda Maharani yang menyelipkan sehelai nama -Selendang Hitam Berdarah- di wallnya itu, jika dengan begitu akan menjadi kebaikan, manislah segala ungkapan hati selendang.”
Barangkali ini hanya perasaanku yang berlebihan menilai bahasa-bahasamu yang kau tulis untukku. Sebab yang terjadi tak lain dan tak bukan adalah percakapan di dunia maya. Engkau boleh tak percaya dengan apa yang rasa ini. Atau dirimu juga merasakan hal yang sama denganku. Entahlah, tentunya saat ini aku merasa ada yang benar-benar hadi mengajakku bicara tentang pertemuan. Walaupun aku juga merasa bahwa pikiranku terlanjur kacau tak beraturan.
Baiklah, akan aku bacakan catatanku untukmu setelah percakapan kita tumpah lewat tulisan di wall di waktu yang saling menunggu. Bacalah baik-baik nIn, “ketidak mengertian pada prasangka membuat firasat tersayat igau-igau sialan setiap kata-kata yang patah tepat di ujung keyakinan berpikir dan perasaan yang utuh setelah sublim bersama ruang tunggu di stasiun tua yang bernama kenangan.”
Begitulah aku waktu itu nIn, dan terserah engkau saja mahu menganggap kalimat itu seperti apa. Aku akan pasrah dan patuh pada bisikan perasaan. Lantaran tanpa harus aku minta padamu apa yang sedang kau lakukan, aku sudah selesai membaca isyarat yang kau utus bersama catatan-catatanmu. Jika harus aku tulis, inilah catatanmu waktu itu “Proyek Tertutup Evenr Ultah Riskaninda Maharani.” Sengaja aku menulisnnya sebatas judulnya saja yang engkau tulis di Dili, 08 Juni 2012 yang aku baca dari kota Istimewa Yogyakarta.
Tidak lama berselang, kau telah mengejutkanku lagi, sungguh. Padahal cerita-ceritaku pada teman-teman disini tentang kerianganku karenamu belumlah tuntas. Malah kau serbu aku lagi dengan catatanmu yang benar-benar tidak pernah aku sangka. Bahkan aku tidak pernah berprasangka apapun setelah itu. Namun, kini kenyataannya lain, kau telah berkehendak di luar firasatku. Tentu kau ingat dan selalu membacanya tentang catatanmu ini:
“Uuntuk sahabat-sahabat sesama penulis yang sudah mengirim naskah untuk event Ulang Tahun Riskaninda Maharani: Kompetisi bikin -status cantik-” Ulang Tahun paling Istimewa yang pernah aku temui selama hidupku kini, Ulang Tahunmu itu, sebab aku yang kau panggil telah hadir dengan kata-kata yang kuisi dengan kembang tujuh rupa beserta tetes embun pagi bahkan retas-retas sinar yang aku petik dari bias purnama. Tak lain dan tak bukan untuk mencoba membuat senyum di bibirmu saat ulang tahunmu tiba nanti.
Tanpa kusadari nIn, aku larut dalam dunia maya itu, yang semestinya aku hanya membuat puisi sebagai Kado Ulatang Tahun buatmu, malah aku mengigau dalam setiap komentar-komentarku dalam setiap catatanmu. Kemudian aku seolah terpelanting dari tempat dudukku saat kau suguhi aku dengan kesan dalam pasanmu tentang “Status Cantik”. Ya, status cantik yang juga ada statusku dalam beberapa kutipanmu. Sebagaimana dirimu, darahkupun mendesir-desir, badanku seolah berada di atas tungku. Hati dan perasaanku mendidih.
Aku takjub dan benar-benar kagum dengan sosok sepertimu, perempuan yang bersahaja melayani pertemanan yang dipenuhi dengan ketulusan dan kesetiaan. Dalam dunia maya yang entah dimana kejujuran itu ada, aku menemuinya dalam setiap engkau berkata-kata dalam catatanmu. Ya, aku sudah menjadi teman baikmu di dunia maya. Kita menjadi begitu akrab dengan saling bertukar sapa. Semua ini terjadi lantaran hari ulang tahunmu yang akan istimewa. Ulang tahun yang akan dipenuhi dengan puisi-puisi mesra untukmu. Puisi yang akan menjadi doa untuk perjalanan hidupmu sejak Ulang Tahunmu tahun ini.

***

11 juni 2012
“Mau panggil-panggil sahabat-sahabatku dulu ah! Kalau yang disebutkan belakangan ini para sahabat yang sangat mencintaiku yang tambahin (tanda kedipan sebelah mata)”
Aku baca catatanmu itu dengan pelan dan penuh harapan yang tak kuketahui sebabnya. Sampai pada akhirnya di paragraf menjelang akhir aku terperangah dengan sekalimat bahasamu itu, “Hmmm... kalau puisi-puisinya Selendang Hitam Berdarah juga ada yang menyimpang dari tema sih sepertinya. Cuma karena -so sweet and romantic-, aku oke-oke saja (tanda kedipan sebelah mata)”. Sejenak aku tertegun tanpa pikiran. Sementara perasaan seolah lepas dari raga hidupku. Dan tiba-tiba kata-kata mengalir dari jemari jalangku.
"Sebab setiap kata, kalimat, bait yang puitis dan romantis adalah ungkapan rasa pada yang istimewa, tiada lain hanya keniscayaan warna warni kembang-kembang setaman. Bukankah mawar beragam warna, namun harumnya tetaplah bernama bunga mawar. nIn, tak usahlah risaukan benang-benang kecil dan tipis yang warnanya tak senyaman selera parfummu, wanginya tetaplah harum yang lezat." Kata-kata itu barangkali sangat puitis buatmu. Dan bagiku memang sedemikian adanya. Aku hanya menikmati bisikan-bisika batin yang asing dan terasa kau hadir dengannya.
“Selendang Hitam Berdarah, aku tak tahu harus berkias apa padamu. Kidung-kidung bibirku membeku tersekat angin semusim berjelaga rindu setiap kubaca pahatan-pahatan pena beracunmu.” Balasanmu, penug racun pula, aku mabuk dalam renung lalu hanyut dalam arus fantasi yang entah.
Barangkali hanya kata yang lahir saat kata-kata tumpah untukku dan kata-kataku juga mengalir. Ya, yang lahir tiada lain hanyalah kata-kata dari lamun resahku.
Sesungguh-sungguhnya adaku kini tak lain "hanya"
buah anggur yang jatuh di sungai deras
dan arus menelannya sebelum ikan ikan menciumnya
kepadamu aku ingin mencelupkan zat termanisnya
meski "hanya' setetes kecil semungil jatuh air mata
di ujung krudungmu yang bernama kenangan

***

ý"Tuhan yang Maha Entah, jika setiap jemari doa juga belaian jemari jalang, benarkah malam telah merekatkan ciuman doaku padanya yang entah di pulau mana ia akan berpejam mata dengan siraman air kembang tujuh rupa?. nIn, jauh dan dekat adamu dari tulang rusukku, tak lain hanyalah jarak antara parfum dengan harumnya. Salam malamku padamu jugalah untaian doa sebelum indah mmpimu. Sebentar lagi, udara lembab yang berbingkai rambut selendang akan sampai di keningmu.”
Igau-igauku sedemikian adanya padanya. Tak ada yang bisa menghalangi tanganku untuk menorehkan setiap moment yang kutangkap yang senantiasa terselip namamu. Tak ada buatku untuk beralasan jika aku tak bisa menuliskannya. Semacam perih rindu yang mesti kunikmati, itulah yang menetes dari setiap kalimat-kalimat yang tertoreh untukmu.
“ýSelendang Hitam Berdarah, tiada ada kata yang mampu terangkum dan menguar dari detak bibirku kala aroma tubuhmu ada di dekatku menawarkan secawan jingga baru di dalam kalbu.” Aku kesemsem dengan untaian kata-katamu. Keniktaman lain terasa benar adanya di bibirku seiring kata-kata perkata aku ucapkan dari kalimat bahasamu. Sungguh.

***

Atas permintaanmu aku kirim beberapa sketsaku yang sederhana. Bukan dengan tanpa sebab dan alasan aku mengirimkannya untukmu. Tentu kau mengerti apa maksud dari kalimatku ini. Jikapun tidak, mungkin butuh waktu untuk memahaminya. Lalu aku akan lebih memahamimu setelah kau respon kiriman sketsaku via Email itu.
“Thanks ya, say, (tanda kedipan sebelah mata). Tapi, fotonya menghadap samping . apa tak ada foto yang menghadap ke depan? Kalau ada, kirim lagi ya! Aku mau letakkan dua buah fotomu di bukuku (tanda kedipan sebelah mata).” Entah dengan perasaan macam apalagi aku mesti memaknai kalimatmu ini. Sungguh, aku menjadi tak punya daya untuknya. Walau kata senantiasa lahir dari jari jemariku.
“jika masih tak cukup, kirim pesan disini. tak perlu dipublish di FB, tentu kau paham nIn. Oh iya, jika aku sampaikan tanggal bulan dan tahun lahirku, tentu kau terkejut nIn. salamku padamu tak kurang suatu apa. tentu kau lebih mengerti nIn. Dua puisi yang aku kirim bersama sketsaku kemarin sudah kau baca bukan. Nikmatilah sebagaiman pertemuan yang mungkin hadir dalam bayang renungan :Kenapa harus rindu nIn.” Beginilah caraku untuk sekedar menenangkan perasaan dan hasratku yang bersitegang sebab sapamu yang aduhai. Dan aku juga ingin mengabadikan setiap oretan tintamu ini.

Pesan Email 16 Juni 2012 darimu nun jauh di Timor Leste:
Aku mohon maaf yang sebesar-besarnya, kalau komentar-komentar terbukaku ada yang menyinggung perasaanmu. Kalau boleh tahu, komen yang mana yang membuatmu tersinggung? Maaf ya, belakangan ini aku super duper sibuk. Hampir nggak ada waktu istirahat buat raga dan pikiranku. Karena terlalu capeknya mungkin pikiran, perasaanku akhir-akhir ini jadi kurang peka. Beberapa kali melakukan kesalahan pada para sahabat yang seharusnya tak kulakukan.
Untuk fotonya sudah keren kok. Makasih ya...! Sekali lagi aku mohon maaf. Dan maaf juga jika permintaan-permintaanku memberatkanmu. Sebenarnya juga tak perlu kau kabulkan juga, jika tak sanggup. Semuanya hanya bersifat permohonan, bukan paksaan. Peace yah! Friends forever? (tanda sekedip sebelah mata). Jadi lebih juga boleh.”
Sampaikan saja secara tertutup mengenai tanggal lahirmu! Takkan kupublish. Hanya untuk data pribadi. Biar aku bisa balas kebaikanmu suatu hari nanti. Mungkinkah kau lebih tua dariku? Itu lebih baik bukan untuk menjalin sebuah ikatan. Oh iya, minta izin untuk copas kalimat ini dalam bukuku : "Memoar Cinta Ultah Riskaninda Maharani - sketsa2 Selendang Sulaiman" dan "Puisi2 Cintaku padamu, nIn. Terimalah!" serta dua kalimat terakhir dalam emailmu ini. Maksudku, biar bukunya makin cantik. Terus, narasimu sedikit aku tambah dengan biodata narasi di Liontin Kehidupan tak apa?.
Aku sangat menikmati semua rangkaian silabi dan kata-katamu dalam bait-bait puisi. Entah mengapa, semuanya terasa manis bagiku tanpa terkecuali. Dan entah mengapa juga, aku harus rindu padamu (tanda sekedip sebelah mata).”

Balasanku Untuk Pesanmu 17 juni 2012 via Email dari Djogja
Surat Libra Ke-29 :Ode Riska Maharani
Tiada perlu kau memohon maaf nIn, jika hanya untuk komentar komentar terbukamu, sebab tak ada yang menyinggung perasaanku, sungguh. apalagi memang tak ada dari komentarmu yang membuatku tersinggung. nIn, tak perlulah kau merasa melakukan kesalahan yang berlebihan pada para sahabat-sahabatmu, aku paham bagaimana sensitifmu perasaanmu lantaran rasa lelahmu yang begitu payah.
Terima kasih aku sampaikan padamu, sebab segala pemberianmu pada tak kurang suatu apa. Dan sungguh, aku tak merasa tak ada dari permintaan2mu yang memberatkanku. segalanya kuanggap sebagai hadiah yang mungkin penuh dengan kekurangan dan keterbatasan.
Mengenai tanggal lahirku, cukuplah menjadi sesuatu yang rahasia, sebab yang rahasia dalam hidup ini, tak lain dan tak bukan adalah sesuatu yang istimewa. aku ingin ada yang istimewa dari pertemuan maya kita, mengertilah nIn..! dan sungguh, tak sedikitpun aku berandai-andai kau akan membalas kebaikanku, sebab aku merasa belum memberi sesuatu yang terbaik untukmu, selain hanya pemberian sederhana demi untuk membuatmu senang dan bahagia di hari ulang tahunmu nanti.
nIn, jika kau suka dan bisa membuatmu senang, copaslah sesuka hatimu dari setiap kalimat-kalimatku yang mungkin baik untuk memperindah bukumu. sebab aku senang menuliskan ini, tentu dengan perasaan yang dalam ("Memoar Cinta Ultah Riskaninda Maharani--sketsa2 Selendang Sulaiman", "Puisi2 Cintaku padamu, nIn. Terimalah!" juga kalimat-kalimat yang aku tulis di emailmu padamu). tentu aku berharap semua kalimat-kalimatku bisa membuat bukunya kian manis dan cantik dilihat dan ketika dibaca menambah rasa semangat untuk semakin mencintai kehidupan.
nIn, apapun yang kau rasa itu baik dan menyenagkanmu untuk dilakukan, kerjakanlah dengan penuh perasaan tanpa takut sedikitpun. aku ikhlas berbuat apapun untukmu apalagi jika hanya sebentuk tulisan.
nIn, simpanlah rindu itu dalam-dalam, biarlah ia mengalir bersama sungai di lubuk jiwa hatimu
Yogyakarta, 17 Juni 2012 -13:50:35

***

Di hari atau malam yang lain, aku jadi ingin menyanjungmu, meski kau tahu aku bukan siapa-siapa dalam hidupmu, kecuali hanya teman yang kau minta untuk mengirimkan puisi untuk rasa kagum kepadamu. Ya, aku telah menunaikan permintaanmu. Tetapi, kata-katamu ada yang lain dan asing bagiku. Kalimat yang membuatku ingin menulis pesan buatmu.
“Ini penting untuk menjadi renung malamku di sela-sela berenang di muara imajinasi. -Kalau Selendang Hitam Berdarah mau jadi kekasihku juga nggak apa-apa- Entahlah, desir darah tak terasa alirnya, aku hilang dalam remang bayang yang kesekian. Sungguh, tariklah aku dengan jemari manjamu nIn.” Harapku usai menulis pesadn untukmu ini, kau akan membaca dan senang membalasnya.
“Haduh, kalau sudah kena komentar-lomentar Selendang Hitam Berdarah yang kayak begini ini, aku sudah tak mampu berucap apa-apa. Semua kata seakan tersekat di ujung rongga dada. Dengan senang hati aku akan menarikmu ke dekapanku, sayang (tanda kedipan sebelah mata).” Kaupun mengirim balasan akhirnya, yang aku harapkan benar-benar terjadi. Tetapi apakah dunia maya ini yang mempertemukan kalimat-kalimat kita akan juga berjumpa dalam nyata?. Entahlah, aku ingin mengucapkan Selamat Ulang Tahun buatmu. Itu saja, sebelum akhirnya Ciuman 23 September tiba tahun ini.

***

Akhirnya, pada suatu ketika yang lain. Entah di hari yang keberapa kau dan aku saling tunggu, kau menulis pesan yang juga untukku. Pesan yang begitu dalam dan aku menjadi merasa bersalah karenanya. Mungkin kau akan minta maaf padaku, akupun begitu. Tetapi aku hanya bisa berkata-kata pula ujungnya. Sebab hanya kata-kata yang menguatkanku dan kata-katalah yang mempertemukan kita disini. Dalam dunia maya ini.
“Hanya waktu yang berhak atas keinginan untuk berbuat sesuatua, nIn, terkadang hasrat yang memuncak untuk menunaikan janji yang terpahat di dinding keyakinan. Sungguh, betapa sangat inginku untuk sekedar mencipta sebersit senyum di bibirmu, dengan kisah sederhanaku.” Inilah keluhku yang terdalam sebab pesanmu karena kesalahanku. Ya, pesan ini aku tulis dan aku kirim demi untuk mengindahkan pesanmu yang sedikit bernada marah, nIn,
“Bukan tanpa sebab dan alasan, tetapi biarlah mengalir saja, pada akhirnya akan sampai di dermaga jua.” Inilah pesanku yang terakhir disini. Dalam cerita pendek ini. Pesan terakhir yang akan menjadi pintu demi pertemuan-pertemuan yang lebih abadi di masa depan.
Selamat Ulang Tahun nIn. Semoga panjang umur. Semoga pesan-pesanku ini menjadi sebungkus hadiah sederhana untukmu.

Yogyakarta, 22 Juni 2012



Nb: Cerita Pendek Untuk Hadiah Ulang Tahun Riskaninda Maharani, nanti 23 September 2012. Semoga kau berkenan atas cerita pendek yang berantakan ini. Sungguh, aku membuatnya hanya untukmu. Hanya untuk mengabadikan setiap pertemuan kita di dunia maya. Jika kau tak suka dengan cerpen ini. Simpan saja di rak meja kerjamu. Aku hanya ingin menunaikan janji atas permintaanmu. Tak kurang suatu apa.

Baron van Warno, Mahasiswa Ilmu Sosial dan Humanioran UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Juara III Lomba Tadarus Puisi Se UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 2009. Menulis puisi dan cerpen sejak SMA. Kini tinggal di Jakarta sebagai pekerja biasa di sebuah Lembaga Peneletian. Bisa dihubungi via sms di : 081939472392

Labels: